Sesampainya aku di rumah sakit tempat dirawatnya Mba Lina, betapa terkejutnya aku. Aku melihat seseorang yang mirip dengan Arini ada di sana dengan menggunakan pakaian pasien dan bersama seorang perawat di taman rumah sakit.
“Arini…!!! Ini aku, Ririn!!! Arini!!!”, teriakku kepadanya.
Tapi dia tidak mendengar panggilanku. Aku berusaha mengejar dia sambil memanggil namanya, tapi dia masih tidak mendengar panggilanku.
“Ririn!! Tunggu aku!!!”. Seseorang memanggilku dari belakang yang terpaksa menghentikan langkahku saat aku benar-benar telah dekat dengan posisi orang yang mirip dengan Arini itu. ”Kamu mau kemana? Ruang Mba Lina belok ke sebelah kanan, bukan ke kiri!”, kata Nurul, teman sekamarku saat mengkos di tempat Mba Lina.
“Oh ya? Belok ke kanan ya??”, jawabku untuk mengalihkan perhatiannya.
“Apa benar itu Arini? Bukannya dia pindah ke Jepang?? Lagipula sepertinya dia buta??”, tanyaku di dalam hati. “Ah, mungkin cuma salah orang. Arini kana da di Jepang!!”, ucapku lagi dalam hati. Tapi sejak aku melihat orang itu, pikiranku jadi tidak karuan.
“Hei! Kamu ngelamunin apa? Kita sudah sampai di ruangan Mba Lina”, ucap Nurul membangunkan aku dari lamunanku.
“oh, iya!”, jawabku.
“Assalamu’alaikum!!!”, ucapku sambil membuka pintu kamar Mba Lina.
Betapa terkejutnya aku akan keadaan Mba Lina, dia terlihat begitu sakit. Di samping ranjangnya, ada seorang pria tampan dan jangkung duduk menungguinya.
“Wa’alaikumussalam!!”, jawab pria itu.
“Dia begitu terkejut ketika melihatku dan secara spontan mengucapkan sebuah nama……
“Merlin??”, ucap pria itu heran sekaligus terkejut.
“Siapa itu Merlin??”, tanyaku kepadanya.
“Oh, tidak apa-apa. Aku hanya terkejut melihat wajahmu yang sangat mirip dengannya”, jawabnya kepadaku.
“Tapi Merlin itu siapa???”, tanyaku lagi kepadanya.
“Merlin itu adikku, Rin!!”, sahut Mba Lina yang aku kira tidur.
“Jadi itu alasannya kenapa Mba Lina begitu baik sama Ririn?”, tanyaku lagi kepadanya.
“Salah satunya itu!!!”, jawabnya lemas.
Mendengar jawabannya itu, aku tidak berani lagi bertanya apa-apa karena aku tahu dia terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan ku yang kalau tidak kuhentikan dari sekarang akan terus keluar secara bertubi-tubi. Semuanya diam, hanya alat-alat kedokteran yang ada di dalam ruangan itu sajalah yang merupakan suara-suara merdunya.
Aku memberanikan diriku untuk bertanya kepada pria itu perihal hubungannya dengan Mba Lina. Karena selama aku mengkos di tempat Mba Lina, aku tidak pernah mendengar hal tentang pria itu apalagi melihatnya.
“Maaf, Mas ini siapanya Mba Lina ya?”, tanyaku kepadanya.
“Aku…, aku teman kuliahnya dulu!”, jawab pria itu.
“Oh…, sepertinya dekat ya??”, tanya Nurul juga memberanikan diri bertanya untuk mencairkan suasana yang sejak tadi sangat beku.
“Oh ya? Aku ini pacarnya Merlin sebelum dia meninggal dunia! Itulah yang membuatku akrab dengan Lina”, jawab pria itu pahit.
“Oh……! Lalu nama Mas siapa?”, Tanya Nurul lagi.
“Shut!! Jangan banyak tanya kamu Nurul. Nanti Mas-nya merasa terganggu oleh kita!”, ucapku kepada Nurul.
“Nggak apa-apa kok! Aku nggak merasa terganggu!! Perkenalkan, namaku Aditia, Aditia Ramadhan! Kalau kalian berdua siapa namanya?”
“Namaku Nurul, Nurul Huda! Salam kenal!!”
“Aku Ririn Anindya. Panggil saja Ririn! Oh ya, Mas Adit bilang kalau Mas adalah pacarnya Merlin, adiknya Mba Lina yang sudah meninggal. Memangnya Merlin meninggal karena apa? tanyaku lugu.
Wajah Mas Adit berubah drastic. Wajahnya berubah menjadi sangat sedih. Tiba-tiba dia menghampiriku, meraih tanganku dan menarikku keluar dari ruangan itu. di luar, dia mengatakan semua hal yang ingin ku ketahui dan semua hal yang disembunyikan oleh Mba Lina dariku selama ini.
“Maaf Mas, bukan mahrom!”, kataku kepadanya sambil melepaskan genggaman tangannya dariku.
“Maafkan aku! Aku teringat dengan Merlin!”, ucapnya kepadaku.
“Tapi jangan pegang-pegang tangan gitu juga dong!”, jawabku sewot.
“Ya, aku benar-benar minta maaf! Kalian berdua memang sangat mirip. Hanya saja yang membedakan kalian berdua adalah kamu berhijab-kerudung panjang hingga menutupi dada dan baju kurung yang menutupi seluruh tubuh/gamis- sedangkan Merlin tidak sempat berpakaian seperti ini!” terangnya kepadaku.
“Memangnya Mas Adit mau cerita tentang apa sampai harus keluar ruangan segala?”
“Tentang Merlin! Kamu tanya perihal kematian Merlin kepadaku kan? Aku hanya merasa tidak enak sja kepada Lina kalau harus menceritakan hal ini di hadapannya, meskipun dia sedang tidur!”
Mas Adit pun menceritakan perihal kematian Merlin kepadaku.
“Jadi Merlin meninggal karena kanker darah? Kanker darah itu penyakit keturunan kan? Jangan-jangan Mba Lina itu…”, omonganku terputus olehnya.
“Shut! Jangan keras-keras dong ngomongnya! Iya, Lina juga mengidap kanker darah seperti Merlin dan sekarng sudah stadium akhir!”
“Astagfirullah! Kasihan sekali Mba Lina!”
“Dan dokter bilang kalau umurnya sudah tidak lama lagi…”, sambungnya.
“Apapun yang dokter katakan, hidup dan matinya seseorang itu ada di tangan Allah!” sahutku bijak sambil masuk ke ruangan Mba Lina dan membacakan surah Yaasin bersama Nurul untuk kesembuhannya.
***
Malamnya, rasa penasaranku semakin memuncak saat teringat dengan orang yang aku lihat di taman rumah sakit tadi. Dan akhirnya kuputuskan untuk mencari tahu kebenaran hal itu ke bagian administrasi rumah sakit. Apa benar dia Arini? Gumamku dalam hati.
“Maaf Mba, pasien yang bernama Arini Wijaya Kusuma ada dirawat di sini?”, tanyaku kepada salah satu pegawai yang mengurusi bagian administrasi………
“Tunggu sebentar ya Mba, saya carikan dulu! A…rini, Arini…, nah siapa tadi Mba namanya?”, tanya pegawai itu padaku.
“Arini Wijaya Kusuma!”
“Ada Mba! Ruangan Melati nomor 7!”
“”Beneran Mba?” tanyaku tidak percaya.
“Iya, Arini Wijaya Kusuma kan? Ruangan Melati nomor 7!” tegas pegawai itu lagi kepadaku.
“Oh, terima kasih Mba!”, jawabku dan langsung menuju ruang tersebut.
***
“Ruang Melati nomor 7…… nah ini dia!”
Ku lihat seorang gadis yang sedang tidur di atas kasur yang empuk tanpa ditemani oleh seorang pun untuk mengawasinya, dan memang, dia Arini, sahabatku yang selama ini ku cari. Banyak pertanyaan ang muncul di kepalaku tentang keberadaannya di sini saat ini. Bukannya dia pindah ke Jepang? Ku beranikan diri untuk masuk ke ruangannya dan menemuinya, sahabat yang sanagt aku rindukan.
“KKRRTTT!”, suara pintu terbuka dan aku pun masuk ke dalam ruangan itu. dan alangkah kagetnya aku, karena ia terbangun dari tidurnya.
“Siapa itu?”, tanyanya kepadaku.
Aku kaget sekali, dugaanku ternyata benar, dia buta…
“Aku…, aku Ririn, Ar…!”
“Ririn? Bagaimana kamu bisa di sini?”
“Bukannya kamu dan keluargamu pindah ke Jepang? Kenapa sekarang kamu ada di sini? Di Jakarta? Di rumah sakit ini? Apa yang terjadi denganmu Ar?”
“Aku tanya, bagaimana kamu bisa ada di sini?”
“Dan kenapa saat hari itu kamu marah-marah kepadaku? Salah aku apa? apa karena aku yang berada di posisi pertama? Bukankah kita sudah pernah berjanji agar tidak saling iri satu sam lain? Tapi kenapa…”
“Cukup!! Kamu nggak salah Rin! Aku yang salah!”
“Kamu yang salah? Salah apa?”
“Aku memang iri denganmu! Tapi bukan karena masalah itu aku marah denganmu!”
“Lalu apa?”
“Karena pria yang aku sukai ternyata malah menyukai kamu!”
“Pria? Siapa? Arman?”
“Iya, Arman!”
“Tapi aku nggak suka sam Arman! Nggak ada sedikit pun perasaan suka yang aku rasakan kepadanya! Jadi, Cuma itu yang membuatmu marah padaku?”
“Ya!”
“Jadi, karena itu kamu berbohong kepadaku kalau kamu dan keluargamu pindah ke Jepang? Untuk menghindariku? Semarah itukah kamu kepadaku?”
“Bukan! Aku melakukannya agar ayahku tidak mengetahui keberadaanku dan ibuku saja! Dia selalu menyiksa kami! Ayahku jadi gila karena aku dan ibuku belajar tentang Islam, Rin!!”
“Tapi kenapa kamu juga tidak memberi tahuku tentang perihal ayahmu kepadaku?”
“ya…”, ucapanya terpotong.
“DUAR!!”
Aku membanting pintu ruangan itu dan pergi meninggalkannya di ruangan itu sambil menangis. Aku begitu marah kepaadanya. Kenapa dia tidak meneritakan hal itu kepadaku? Aku sahabatnya kan? Dia sendiri yang bilang aku sahabatnya. Tapi kenapa?
***
“Kamu kenapa Rin?”, tanya Mas Adit –keluar dari ruangan Mba Lina- kepadaku yang sedang menangis tersegan-segan.
“Nggak apa-apa kok Mas!”, sahutku.
“Tapi kamu kayak habis nangis? Ada apa?”
Tapi elektrokardiograf yang ada di ruangan Mba Lina berbunyi semakin cepat dan mengagetkan kami berdua.
“Mba Lina!!”, teriakku spontan sambil masuk ke ruangan itu disusul Mas Adit.
“Mba Lina? Mba Lina kenapa? Dokter! Dokter! Mas Adit cepat panggil dokter!!”, teriakku keras.
“Rin, Mba mohon hiduplah dengan baik ya Rin! Mba titip kos-kosan Mba sama kamu. Dan kamu, Dit! Tolong jaga Ririn ya! Jaga dia seperti kamu menjaga Merlin!”, ucapnya sambil tersenyum.
Aku dan Mas Adit saling bertatapan.
“Mba ini ngomong apa? jangan bicara sperti itu! Mba nggak boleh menyerah kaya gini Mba! Ucap istighfar Mba! Aku percaya Mba pasti sembuh!”, ucapku mengingatkannya.
“Mba sudah nggak kuat lagi Rin, sudah saatnya Mba pasrah pada takdir ini! Terkadang perjuangan demi perjuangan mutlak diperlukan kita dalam kehidupan ini, jika Allah melenggangkan kita melewati hidup tanpa hambatan, itu malah akan melumpuhkan kita. Kita tak akan sekuat apa yang bisa kita lakukan. Kita tak akan bisa terbang Rin! Takdir itu akan indah pada waktunya! Dan Mba telah merasakan indahnya takdir itu. dan untuk terakhir kali, Mba mohon tolong donorkan mata Mba kepada pasien buta yang menempati ruang Melati nomor 7! Dia sangat membutuhkan hal ini!”, ucapnya lirih.
“Bagaimana Mba bisa tahu dengan pasien itu?”
“Karena dia telah mengatakan hal yang sangat indah bagi Mba dan dia telah mengingatkan Mba betapa kufurnya Mba terhadap nikmanya Allah!”
“Mba Lina…!”, tangisku tak bisa ku bending lagi.
“La ilaha ilallah!”, bisikku kepadanya.
“La ilaha ilallah!”, ucap Mba Lina terakhir kali sebelum dia menutup matanya untuk selamanya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un!” ucapku dan Mas Adit bersamaan dan saat itulah dokter bersama perawat-perawatnya datang. Tapi itu semua percuma, Mba Lina sudah pergi, pergi untuk melanjutkan hidupnya yang baru di tahapan kehidupan manusia setelah meninggal.
***
Aku kembali menemui Arini untuk minta maaf dan membawakan berita baik untuknya.
“TOK! TOK! TOK!”, aku mengetuk pintu ruangannya.
“Masuk!”, suara ibu Arini yang menjawab ketukan pintuku.
Betapa terkejut dan senangnya aku ketika aku melihat Arini dan ibunya telah memakai jilbab.
“Eh, kamu Rin? Kamu juga ada di Jakarta?”, tanya beliau kepadaku ramah.
“Iya Tante, melanjutkan studi di sini. Ehm…, Ar, aku minta maaf atas pertengkaran kita kemarin malam ya? Aku benar-benar khilaf, Ar!”
“Nggak apa-apa kok, Rin! Itu memang salhku. Kenapa Cuma karena hal sepele aku harus menjauhimu dan tidak menceritakan perihal ayahku kepadamu! Aku juga minta maaf ya?”, tanyanya kepadaku.
“Iya, sama-sama. Jadi, kalian sudah jaid muallaf?”, tanyaku kepada mereka.
“Iya Rin! Alhamdulillah!”
“Alhamdulillah! Senangnya aku mendengar hal itu! Oh ya Ar, apa yang terjadi denganmu sehingga kamu jadi seperti ini?”
“Itu semua karena sebuah kecelakaan yang terjadi ketika Arini pulang kuliah. Dia ditabrak lari oleh sebuah mobil dua bulan yang lalu! Oleh sebab itu, sekarang Arini masih menjalani masa pemulihan di rumah sakit ini!”, jelas ibunya panjang lebar.
“Astagfirullahalazim, Ar! Kasihan sekali kamu! Tapi, aku punya berita baik untukmu!”
“Berita apa Rin?”
“Seseorang yang pernah kamu ingatkan tentang betapa banyaknya nikmat yang telah Allah beriakn kepada kita, sebelum dia meninggal, dia berpesan kepadaku bahwa dia ingin mendonorkan matanya untukmu sebagai tanda terima kasihnya atas jasamu yang telah menyadarkannya tentang hal itu.”
“Maksudmu?”
“Dia itu pemilik kos-kosan yang aku tinggali dan kemarin dia telah meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un!” ucap Arini dan ibunya.
***
Setelah hari itu, kehidupanku mulai berubah menjadi lebih baik. Mata Mba Lina yang didonorkan kepada Arini telah memberikan cahaya baru untuk hidup Arini. Hubunganku dengannya pun menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan yang paling menyenangkan, dia dan ibunya telah menjadi muallaf. Kos-kosan Mab Lina yang telah diamanahkan kepadaku juga berjalan dengan lancar. Hidupku pun tambah sempurna ketika Mas Adit datang melamarku dan aku menerimanya. Keluargaku pun pindah ke Jakarta agar aku dapat dekat dengan mereka karena pekerjaan Mas Adit yang mengharuskan kami berdomisili di Jakarta. Memang, pada akhirnya, takdit itu indah pada waktunya.
Aku teringat sebuah tulisan yang pernah aku baca…
Aku mohon kebijakan…
Dan Allah memberiku berbagai problem untuk dipecahkan.
Aku mohon kemurahan hati…
Dan Allah memberiku berbagai kesempatan.
Aku mohon keberanian…
Dan Allah memberiku bahaya untuk diatasi.
Aku mohon kekuatan…
Dan Allah memberiku kesulitan demi kesulitan supaya aku kuat.
Aku mohon kemakmuran…
Dan Allah memberiku otak dan otot untuk bekerja.
Aku mohon cinta…
Dan Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk ditolong
Aku tak mendapat apa pun yang aku inginkan
Aku menerima apa pun yang aku butuhkan.
OWARI
Udah selesai nih Melekers cerpen punya Arisa…
Gimana? keren tak cerpennya?
kalo enggak, menginspirasi tak?
Arisa harap iya ya…
Arisa cabut dulu ya…
ditunggu komen dan reviewnya…
wassalamu’alaikum…:)